Oleh: Ibn MaqshudY
Intinya dari surat bapak untukku, aku di suruh pulang segera kerumah karena ada hal penting katanya yang perlu di bicarakan. Tanpa ada anggapan apapun aku langsung menelpon bibiku suruh bilang kalau sekitar semingguan lagi baru bisa berangkat pulang karena jadwal kapal baru adanya waktu itu. Tanah tempat tinggal langsung terbayangkan, tidak terasa sudah tiga tahun aku belum pernah sekalipun pulang menengoknya. Untuk melepaskan kerinduan hanya setiap bulannya telpon kerumah, atau kadang berkirim surat juga karena lebih bisa menjabarkan kata-kata dari pada lewat telpon langsung. Teman satu kos-ku juga kelihatan heran terhadapku yang di suruh pulang mendadak, jangankan dia, aku sendiri juga tidak mengerti.
Perlahan kapal yang membawaku terus membelah ombak dan lautan. entah perubahan seperti apa sekarang di seberang sana setelah hampir empat tahun belum pernah beranjak menjenguknya.
“turun di sini bang…!” kusuruh tukang ojek yang aku tumpangi untuk berhenti di depan rumah ber-cat putih, lebih bagusan dari dulu pas awal di tinggalkan. Ibuku mengetahui anaknya pulang langsung turun dari beranda rumah dan menyambutku, Segera memelukku dengan raut muka bahagia melihat anaknya yang sudah beberapa tahun tidak di lihatnya, senyum kerinduan dan cintanya benar membuat hatiku tunduk. Akupun tersenyum kepadanya beberapa saat sambil melihat rambutnya yang mulai beruban, walaupun umurnya masih empat puluhan.
“bapak mana, ma? Kok ngak kelihatan?” sambil berjalan aku bertanya kepada ibuku.
”ada, kebetulan tadi siang di Babulu ada rapat MUI babulu, mungkin sore nanti pulang…?!” jawabnya dengan sambil tersenyum memandang anaknya yang tampak lebih dewasa dari awal berpisah dulu. Terdapat harapan di sana, do'a dan cinta yang senantiasa terhiaskan di bibir dan wajahnya yang mulai menua. Hati merasa tenang juga karena melihat suasana yang tampaknya baik-baik saja dirumah, masih belum bisa menebak mengapa disuruh pulang kerumah?
****
“Apa…???!!!” Seruku tak terasa.
kepalaku seperti terkena godam mendengar ucapan ayahku yang sama sekali tidak pernah terbayangkan dalam benakku. Kepulanganku karena hendak dijodohkan dengan pilihan kedua orang tuaku. Lama aku tidak dapat berkata-kata sama sekali, antara bingung dan terkejut bercampur menjadi satu, selanjutnya aku hanya diam memandang mereka berdua bergantian.
“kenapa, nang? sepertinya kamu terkejut?” Tanya mereka melihat raut muka-ku yang berubah seketika mendengar rencana mereka.
“tapi….!!!!Pa…Bu…hanya kok tiba-tiba begini tanpa memberitahu Ali dulu?” Mendengarnya mereka hanya tampak saling berpandangan satu sama lainnya.
“aih Ali…gadisnya sholihah dan insya Allah cantik kok!” kata ibuku.
Aku tidak sanggup berkata lagi, dan ini memang menjadi kejutan dan surprise luar biasa bagiku. Lalu setelah itu tanpa berbicara sedikitpun aku keluar dari rumah dengan terlebih dahulu menyambar kunci motor, lalu pergi dengan membawa sepeda motor, laku-ku kalau sedang berselisih dengan orang tua dan merasa nggak enak yang masih terus terbawa, biasanya mereka hanya menggelengkan kepalanya saja.
“tuh anakmu kalau dah ngambek gitu, sifatnya yang satu ini belum berubah…” kata ibuku pada suaminya, ayahku.
“ya….anak kita, santai saja ntar juga sembuh sendiri, barangkali cuman terkejut saja dia” santai jawab pria 50 tahunan itu dengan wajah sabar.
Ah…Berat sekali rasanya untuk menolak, hanya mata menerawang ke seberang jauh sana, sekilas sosok anggun melayang di mata dengan air mata berlinang, seakan menagih sebuah janji yang untah berapa kali aku utarakan. Ntah sudah berapa tumpuk memoar yang aku tulis yang dulu tersimpan begitu lama, dan tidak lama sebelum di panggil pulang sudah mendapatkan sebuah jawab nyata dari sebuah baying yang biasanya salam mimpi saja; kini seakan sudah buyar, dunia yang ada terasa begitu sesak, pundak begitu berat untuk bertindak. Yach…Aku memang harus memilih antara dua; apalagi kata ayah-ku, sesosok penyabar yang hampir tidak pernah marah tapi berwibawa:” Ali…bapak kan hampir ngak pernah meminta sama kamu, begitu pula Ibu dengan ibu; Bapak minta kamu turuti mau ibumu yang satu ini…” kata Bapakku dalam dialog kita berdua selepas shalat isya. Inilah yang membuat aku terombang ambing dalam kebingungan
Akhirnya walau masih dengan berat hati aku hanya bisa menganggukkan kepala ketika di ajak untuk berjumpa dengan camer, sosok anggun di perkenalkan dengan-ku, tapi karena memang hatiku yang masih gelisah dan panas semuanya terasa hambar sehingga setiap pertanyaan yang di ajukkan terhadapku hanya aku iyakan saja. Akhirnya di sepakati bersama bahwasannya pernikahan-ku dengan pilihan orang tua sebelum keberangkatanku ke kampus, walaupun pertamanya aku bilang belum siap karena masih belum rampung, semua itu tida bisa menjadi alasanku, pernikahan dilangsungkan walaupun belum ada setitik-pun cinta di hati. Ntahlah, nafsu ataukah cinta yang aku maksudkan, aku cuman memberikan catatan bahwasannya aku setelah akad mau menyelesaikan kuliah dulu yang masih tersisa setahun lagi. Setelah itu…Hampir setahun aku tidak pernah bersurat dan berucap kerumah, surat dan pesan singkat hampir tak pernah aku tanggapi. Hatiku masih terasa kesal, ntah kenapa masih belum merasa rela; padahal baying itu ketika aku katakana padanya:” maafkan, karena janjiku tidak bisa terlaksana sebab orang tua yang sudah meminta…” aku sendiri tercengang ketika mendengar jawabnya:” kalau sudah takdir yang berkata kita mau bilang apa, kalau memang takdir untuk bersua, kalau tidak di dunia di syurgapun masih bisa terlaksana…”
Ya….ia memang rela, tapi hatiku masih belum sanggup untuk mengeja fakta demi fakta yang ada, ntahlah brangkali saatnya saja yang belum tiba.
***
pada saat yang sama, bersamaan dengan setianya pergantian waktu, bersama putaran jarum jam yang terus mengeja angka demi angka; sosok anggun dengan gerakan bibirnya mengejakan kata demi kata zikir dalam kesendiriannya, wajahnya menerawang jauh ….ntahlah apa yang ada di sana hanya ia dan Rabb-nya yang tahu. Sering ia dalam kesendiriannya, merenungkan saat-saat yang penuh dengan cinta dan penantian yang ntah kapan akan tiba, pergantian musim terasa begitu lama menyandranya, sebuah kerinduan yang belum terobati, selalu terbang berasama harap dan asa meratap sendu untuk segera menggapainya.
Bisiknya pada angin :” Kalaulah bukan karena cinta dan sebuah harap takkan aku tunduk pada dekap kesepian ini, tak akan aku mau menatap lorong panjang sebuah penantian…”
Ketika sebuah fatamorgana kehidupan tertiupkan menghalang jalan, hanya sebuah kepastian yang akan meyakinkannya. Hati yang hauskan akan sebuah ejaan fakta, ingin agar taburan bunga menghiasi kekosongan senjanya. Detak nafas berburu bersama lautan kisi cinta, di torehkannya kalimat-kalimat penuh rasa menerbangkan satu harap bersama sang asa. Waktu tersenyum dengan lalurnya membawa sepi dan sepi, terus merajut jala misteri sebuah rasa rindu dan cinta maupun kecewa.
***
Teroris, teroris, teroris…itulah kalimat yang dalam sepuluh tahun ini sering menghinggapi pemberitaan; entah karena sebab apa aku menjadi seorang yang di sangkakan termasuk di antaranya. Persaksian dari pihak kampus akan tingkah lakuku-pun tidak bisa menjadi senjata pembela, kawan-kawanku pun hanya bisa memangdang dengan berkaca ketika sebuah belenggu melingkari kedua pergelangan tanganku. Itu pada saat baru seminggu aku di wisuda dengan gelar sarjana sosial politik, kini ruangan selanjutku adalah penjara dan peradilan ke peradilan sampai dua bulan lamanya.
Ibuku hampir pingsan mendengarnya, ayahku hanya menyabarkannya dan menghiburnya bahwa ini hanya sementara karena ia yakin bahwa anaknya tidaklah seperti yang di sangkakan pihak anti teror kepolisian, dan sosok anggun itu memandang aku pucat hampir tidak bisa berkata , sendatnya:” bersabar lah mas, jalan kehidupan tidak selamanya rata dan tenang…” aku hanya mengangguk mengiyakannya kalimat bijaknya, istriku yang masih terasa asing ; ia dengan kebijaksanaan kata-katanya membuatku tidak bisa bersuara, ntahlah aku sungguh tidak tahu betapa besar cintanya dan betapa melautnya air mata kesedihannya melihatku dengan tangan terborgol dalam penjara, walau begitu begitu tampak olehku pancar kesetiaan di sana, keikhlasan yang begitu bersih.
***
Wajah itu putih bercahaya penuh dengan kedamaian, ketika aku mendatanginya ia menggoyangkan kedua tangannya melarang hingga aku hanya terdiam tidak sanggup berucap atau berbuat apa. ia hanya tersenyum dan kemudian berkata:”sekarang belum saatnya kita berjumpa, tapi aku akan selalu menantimu dengan penuh kerinduan….”
Aku tidak memahami apa yang di ucapkanya, perlahan bayangnya kian menjauh hingga tersisa titik putih hingga senyumnya menghilang tak berbekas lagi, akhirnya aku paksakan dan berteriak dan akhirnya…
“El…Elna……..!”
“Mas Ali bangun mas…..” suara merdu menyadarkanku, tarnyata hanya mimpi dalam tidur siangku.
“mimpi yach…” tanyanya sambil menyodorkan segelas air putih segar.
Aku teguk air putih pemberian istriku yang kemudian duduk di sampingku dengan wajah berseri, sore itu terasa sekali kalau wajahnya sungguh sangat tidak berhak mendapatkan keruh sinar wajahku. Akhirnya aku tersenyum cinta kepadanya, entah kenapa hati bisa berubah tiba-tiba.
“mas boleh Adik bertanya?”
“iya…”
“Elna itu siapa?”
“dia…”
“nggak usah di jawab mas, Dinda sudah tahu kok…”
Aku hanya bengong mendengar kalimatnya, tapi ia tetap dalam senyumnya. Di ulurkannya sebuah surat dengan amplop tertutup. Nama pengirimnya adalah nama yang aku kenal, langsung saja aku buka, dan sebelum akhir surat tertulis sebuah kalimat dan pesan: …walau di dunia kita tidak bisa bersua, tapi aku yakin engkau selalu tak pernah lupa, aku berdoa kepada Allah semoga kita berjumpa di dalam syurga, aku akan menantimu setia di sana…” rupanya ini adalah surat terakhir yang di tulis Elna sebelum menghadap Rabb-nya sempat menuliskan sebuah surat singkat untukku. Dalam lembaran satunya kakaknya memberitahukan kalau adiknya itu ada mempunyai sakit yang sulit di sembuhkan dalam tubuhnya, tapi di beritahukan olehnya bahwasannya ia selalu gembira , apalagi ada seseorang yang selalu merindukannya dengan penuh makna walaupun di dunia tidak sempat bersatu. Hampir saja aku pingsan setelah membaca kabar pesan singkat itu, terdiam tidak sanggup berucap apa-apa.
…….
Dari seluruh kerinduan ini
Yang berlalu bersama iringan sang waktu
Akan terus aku rangkaikan
Dalam sebuah kalimat "kata setia"
Aku ingin terus menunggumu
Menanti rentangan takdir yang berlaku
………
Itulah potongan singat sebuah puisi kerinduan dari seorang yang dahulu belum pernah aku kenal sebelumnya dan kini telah menjadi istriku, dan iitu juga adalah kalimat yang pernah ak tuliskan untuh sosok yang kini sudah tiada yang tak pernah aku lupakan-nya. Aku rengkuh ia dengan penuh kecintaan, karena aku sadar dia sekarang adalah cintaku yang masih ada di dunia, dan perasaan angkuh itu sudah lenyap tak tersisa, yach… aku sekarang hanya tidak ingin ada hati yang terluka. Mengikut ini adalah takdir dari Rabb-ku, dan yang pasti itulah yang terbaik buat hidupku di dunia dan ahirat yang menanti.
(Di peruntukkan bagi mereka yang sudah mau menikah.red)
Label: Cerpen Islami
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar