Raihana

Oleh:
Ibn Maqshudy

Raihana itu namanya, nama yang yang cantik dan memang begitu pula dengan orangnya. Dengan balutan jilbab putih khasnya yang selalu menghiasi dirinya dengan anggun, tidaklah pernah ia tanggalkan. Ia memang wanita ideal dan pantas meyandang gelar wanita mahmudah, calon bidadari syurga sungguh sangat cocok di sandangnya. Kecantikan Raihana dan keangggunannya memang sangatlah bertolak belakang dengan yang ada di sekitarnya. Ia selalu mengembangkan senyumnya dengan ikhlas tanpa ada maksud apapun, jawabnya ketika di tanya, senyumkan sedekah jawabnya singkat. Tapi ketika ia menyendiri, seakan semua senyumnya hilang berganti kemuraman yang menyelubunginya.
Aku memang berbeda dengan Raihana di dalam hampir semua hal, tapi entahlah berteman dengannya seakan tidak pernah membosankan, dan selalu mendapatkan kesejukan. Bila ia memakai jilbabnya yang anggun, maka aku dengan rambut yang terurai lepas bahkan kadang kupotong tomboy, dengan kaos sebagai pakaian yang khas, di tambah lagi dengan celana jins.
Raihana, aku…..
Aku terkadang iri padanya yang selalu tenang di dalam menghadapi segala masalah, senyum manisnya tidak lepas dari bibirnya yang manis, tetap ia tidak suka untuk memamerkannya. Aku masih sama-sama duduk di semester lima fakultas Ekonomi. Didalam kuliah-pun ia selalu lebih unggul dariku, bahkan dari semuanya mahasiswa setingkatnya, ia pandai dalam berbicara dan ber-diplomasi, akan tetapi ia senantiasa tidak membanggakan semuanya. Katanya ketika kutanya,
“ah semua itu adalah amanah dari Allah, dan kita hanyalah makhluk yang lemah dan tiada daya”
Jawabannya yang singkat dan aku memang belum dapat memahaminya dengan baik, Cuma memang merasa betul dengan apa yang di ucapkannya. Aku kadang bingung dengan sikapnya, ia yang selalu menundukkan pandangannya ketika berjalan, ia yang selalu berjalan dengan anggunnya tanpa di buat-buat, kalimatnya tegas ketika berbicara dengan lawan jenisnya dengan tanpa meliuk-lukkannya demi mencari sesuap perhatian. Tatapan sinis tidaklah pernah ia acuhkan, katanya padaku ketika kutanya.
“Nila, mereka berlaku sinis padaku sebab sikap dan keadaanku ini, sesungguhnya ini adalah karena mereka belum memahaminya dan belum mengerti, maka buat apakah aku sedih dan marah?” aku biasanya hanya tersenyum mendengarnya, merasa diri begitu rendah dibandingkan dengannya.
“aku belum sanggup sepertimu Raihana...”
“kamu merasa tidak sanggup dan lemah karena belumlah pernah mencobanyasaja…” ujarnya dengan suara lembut terhadapku.
……
Setiap hari ketika aku sampai ke-kampus tiadalah yang aku cari pertama kali selain Raihana, ia semacam sudah menjadi magnet bagiku. Aku yang masih sering melalaikan diri dari kewajiban sebagai seorang muslimah seakan tiada artinya kalau mau di bandingkan dengan diri dan kepribadiannya.
“raihana aku ingin sepertimu…” ungkapku padanya pada suatu hari, mendengarnya ia tersenyum cerah dengan seri wajahnya, kemudian di peluknya aku dengan mata agak memerah haru. Aku jadi bingung juga mengapa ia sampai menangis mendengar aku berbicara seperti itu.
“knapa kok sampai nangis hana?” tanyaku padanya.
“kamu tahu nggak la, petunjuk itu sangatlah mahal harganya, mendengar kau berbicara tadi sungguh aku sangat gembira”.

Ia memelukku erat ketika aku ungkapkan bahwasannya aku akan pindah kampus di lain kota ikut orang tuaku yang pindah tugas kesana. Aku sendiri meneteskan air mata di pelukannya.
“di tempat yang baru semoga kamu mendapatkan hal yang lebih baik ya la…”
“ntar Nila insya Allah sering telpon Hana kok, kak hana juga yach”
“insya Allah…”
……
Sore itulah akhir perjuampaanku dengannya, sekarang sudah hampir tiga tahun tidak pernah berjumpa dengannya. Dengan seiring berlalunya waktu, berubahnya pergaulan dan lingkungan. Keluargaku yang walaupun bisa di katakana keluarga sukses mencar harta. Tapi pada sisi lainnya bisa di sebut broken home. Ayahku sedari pagi sampai petang sibuk di tempat kerjaanya, sedang ibuku yang memang seorang wanita karir sejak mudanya jangan di tanya lagi kesibukannya. Hampir tidak ada waktu mereka untuk anak-anaknya. Sehingga walapun kebutuhan materiku terpenuhkan, tapi batin selalu merasa kering dan gelisah mendengar nasihat. Hiburan satu-satuku adalah ketika membaca surat ataupun chating dengan Hana. Sosok sepertinya sangat sulit sekali aku dapatkan di tempat baruku. Tapi kini seiring dengan makin lamanya waktu berpisah aku maki jarang menghubunginya, malah suratnya jarang aku balas.
……
"Hana…kapakah bilakah saya dapat melihat keteduhan wajahmu kembali?" dalam lamunku di tengah kesepian diri ketika aku ingat akan dirinya.
……
"la, minggu depan kita kembali ke-Makassar…." Kata Mama dengan mata sembabnya seperti habis menangis. Mendengarnya tentu saja aku terkejut.
"knapa ma, kok kayaknya mendadak banget?"
"aku dan papa-mu sengaja menyembunyikan permasalahan ini darimu, sebenarnya mama dan papa sudah lama mau cerai, cuman merasa kasihan sama kamu saja yang tentunya akan tertekan…, sekarang tinggal kamu pilih saja au ikut mama atau papa kamu yang mau nijkah lagi itu!"
Mendengarnya aku tidak bisa berucap apa, kalau biasanya melihat mereka bertengkar sudah menjadi biasa kerena semenjak kecil sudah sering melihatnya. Akan tetapi kali ini mereka akan berpisah. Mau tidak mau akhirnya seminggu kemudian setelah sidang percerain di pengadilan mereka berdua resmi berpisah, aku memang merasa sangat terpukul. Akhirnya aku turut dengan mama-ku, kemudian kembali ke-Makassar.
……
Di harian fajar halaman utama termuat sebuah berita, ada kecelakaan tabrakan tkk vs kijang, seluruh penumpang dalam kijang bersama dengan sopirnya tewas di tempat seketika, hanya ada satu penumpang yang selamat. Aku buka mata agak berat, seketika mataku terbuka, semua di sekitarku serba putih, dari baju, seprei, dinding dan…seraut wajah bening tersenyum kepadaku yang telah membuka mata perlahan, mimpikah ini? Dan…yang ada di hadapanku adalah Raihana.
"al-hamdulillah kamu sudah bangun, la…"suaranya tampak gembira melihatku sudah tersadar dari koma panjang. Langsung ia pegang kedua tanganku. Aku masih belum berucap sepatah katapun karena masih bingung, apa sebenarnya yang terjadi.
"Hana, kamu hana-kan…"
"iya…!"
"dan…"
"sekarang di RS Muhammadiyyah, kamu habis koma selama 2 hari…"
"ah….lalu mana ibu-ku…?"
Mendengar pertanyaanku, ia hanya bisa diam tidak langsung menjawabnya, hanya diam tidak sanggup memberikan jawaban karena masih takut akan keadaanku yang masih lemah dan beru sadar dari siuman.pandangan matanya sudah dapat menjadi jawaban bagiku.
"apakah aku masih bisa sepertimu, Hana…? Aku ingin berhijab sepertimu…berlaku sepertimu…" kataku tiba.
"tentu saja, bahkan lebih baik dariku…" jawabnya singkat sambil memandang wajahku teduh.
Tak lama ia keluar, lalu kembali dengan membawa kotak kado untukku, dengan masih berbaring aku buka pemberiannya itu. Air mataku langsung mengalir dengan hadiah darinya ini, hijab indah berwarna putih. Aku langsung minta bantu ia untuk memakaikannya. Lalu kembali terbaring di atas ranjang.
"ini-kah hidayah itu, Hana…?"
"ia, inilah hidayah itu, suatu hal yang paling berharga bagi manusia, penentu kehidupan manusia pada kehidupan selanjutnya…"
……
Dingin yang ia rasakan ketika memegang kedua tanganku, antara gembira dan duka ia pandang mataku yang sayu makin redup. Ia sedih karena merasa yakin akan di tinggalkan seorang baiknya, akan tetapi gembira, karena ternyata Allah masih menyayangku dengan hidayahnya. Dinding yang putih, pemandangan kamar yang serba putih perlahan berubah menjadi gelap, pintu kehidupan setelah dunia melambaikan daun-nya memersilahkan aku datang, tiada lagi kebisingan, keramaian, semua menjadi diam, membisu. Dengan di tuntun kalimat syahadat gadis bernama Raihana itu telah mengantarku menuju pintu rahmat Allah.
"tiada dzat yang berhak di sembah selalin Allah, dan bahwasannya Muhammad adalah utusan-nya…"

1 komentar:

Anonim mengatakan...

assalamualikum wr wb
alhamdulillah akhii, ana bisa berkunjung ke blog ente...Subhanallah tulisannya bagus2 banget, inspiring, sungguh menyentuh dan menyegarkan...boleh dunk Copy tulisan2nya..hehehe..tetap istiqomah ya?? mudah2n blog ini banyak bermanfaat tuk semuanya..amiin.
Keep spirit!!
wassalamualaikum wr wb