Mereka berbicara tanpa dalil...

Segala pujian bagi Allah yang telah menciptakan manusia dalam keadaan yang terbaik dari semua makhluk yang ada, dengan bentuk tubuh yang bagus, di lengkapi dengan akal dan nafsu. Salam dan sholawat juga atas nabi Muhammad saw, sosok sempurna yang telah Allah pilih sebagai utusannya untuk menyempaikan rahmat Islam bagi alam semesta. Sungguh sangat beruntunglah orang yang telah Allah cerahkan hatinya dengan cahaya petunjuk.

Ada sebuah pepatah arab yang mengatakan:
“Al-insan lahu bidayah wa laisa lahu nihayah”
Manusia itu memiliki permulaan dan mereka tidak memiliki akhiran.
Ini bukan ucapan tanpa dalil, tapi terbangun dari dalil yang kuat, banyak sekali ayat Allah yang mendukung dan menguatkannya, juga sabda-sabda Rasulullah saw.
Manusia memang ada dari ketiadaan, Allah-lah yang telah mengadakannya, kemudian setelah berada pada masa kehidupan singkat, kemudian mulai menuju pintu kekekalan, setelah alam kubur, kemudian mereka di bangkitkan dan di hisab, lalu baru di tentukan bagi mereka daru al-khulud, Syurga ataukah Neraka. Didalamnya mereka kekal abadi.

Mereka,
Sebenarnya kepada siapa saya tujukan kalimat mereka? Saya tujukan kepada mereka-mereka yang tidak melihat Islam sebagai suatu kebenaran, melihat islam sebagai suatu pemaksaan dan bahkan kekerasan, serta menilai Islam hanya sebatas ideologi seperti macam lainnya. Barangkali merekalah termasuk orang yang Allah sempitkan hati mereka dari melihat kebenaran islam.

Saudararaku...
Saudariku...
Bersyukurlah kalian karena telah menerima kebenaran islam ini, lebih bersyukur lagi kalau kalian oleh Allah di jadikan di antara penolong agama ini, sunggu merupakan keberuntungan yang sebenarnya.

Dan sunguh sangat merugi mereka-mereka yang telah beriman kemudian keluar dari keberimanan mereka, dan bahkan menjadi penentang keras dakwah Islam itu sendiri. Saya kira engkau sudah tahu seperti siapa saja mereka saat ini?

Sayap-Sayap Cinta 1

Sayap Sayap Cinta 1

Rumah tampak sepi ketika sampai di beranda, kuusap sedikit peluh di kening, kudorong saja pintu yang ternyata tidak di kunci. Ayah ibuku sudah menyambutku dengan senyuman di ruang tengah, sudah bersiap makan sore. Tapi tidak kulihat adikku, Nilam di sana, hanya ayah ibuku berdua di tambah mbok Mina, pembantu kami. Akupun segera duduk di hadapan mereka yang tampaknya belum menyentuh makanan sama sekali, aku langsung paham rupanya mereka masih menunggu Nilam, adikku.

“bu, ada apa ini, kok kayaknya sepi gitu, mana Nilam?” tanyaku pada meraka. Ibuku yang aku Tanya hanya memandangkan matanya kearahku, Lalu berucap.

“nggak tahu Nilam ada apa? Tadi sepulangnya dari sekolah langsung saja masuk kamar, wajahnya tampak agak kusut, dari tadi belum keluar, bapak sama Ibu udah memanggilnya, tapi yach gitu, ia masih juga belum mau keluar, coba kamu panggil dia” . Akupun lepaskan kembali sendok yang sudah terpegang, dan bersegera menuju kamar adikku, Nilam. Ia masih di SMU kelas dua-an, memang umurnya beda lima tahun lebih dengan-ku. Sambil memangil namanya dengan lembut aku ketuk pintu kamarnya,

“Nilam…, nih. Bang Azam, boleh masuk nggak?” lama aku tunggu tanggapan dari dalam kamar, hingga akhirnya pintupun perlahan terkuak dan muncul wajah cantiknya yang sembab, tampaknya habis menangis. Lalu tanpa berkata apapun ia kembali masuk dan berbaring di atas ranjang. Akupun perlahan masuk dan duduk di sampingnya, dalam hati berpikir dan juga heran, baru sekali ini melihat ia memangis, padahal biasanya lincah sekali seperti burung merpati. Segera perlahan aku ikuti ia ke kamar, lalu duduk di sampingnya. Sedangkan ia duduk membelakangiku, mungkin tidak mau dilihat muka sembabnya.

“nggak biasanya Nilam seperti ini, kalau Abang boleh tahu sebenarnya ada masalah apa yang sampai membuat Nilam bersedih begini?” kupegang pundaknya sambil menunggu jawaban, ia masih terdiam ragu untuk menjawab.

“bang Azam nggak akan memahaminya…”.

Mendengar perkataanya tersebut aku terdiam sejenak, kenapakah sampai terlontar ucapan seperti ini dari mulutnya. Jadi teringatkan memang akhir-akhir ini aku agak jauh dengan dia, bukan sebab apa, memang sering keluar rumah karena padat sekali kegiatan yang harus di ikuti baik di kampus maupun diluar kampus.

“abang minta maaf sama Nilam kalau sekiranya akhir-akhir ini jarang berbicara dengan kamu, kegiatan Abang sedang banyak sekali…, tapi…ok-lah! Kalau Nilam belum mau berbagi masalahnya sama abang sekarang ini, ya nggak papa, cuman abang minta satu saja, boleh nggak?” ujarku sambil memegang rambutnya yang hitam lurus indah.
“apa…?!”

“nanti-lah, Nilam kalau sudah tenang bisa kasih tahu masalahnya ke abang, tapi sekarang jangan nangis melulu deh…!”

“tuh lihat mukanya di cermin, kalau nangis gitu jadi nggak cantik lagi…”kataku sambil bergurau menggodanya. Mendengarnya iapun langsung berusaha meraih lenganku untuk mencubitnya.

“ihhh bang Azam ini…!”

“ya sudah kalau Nilam mau makan di kamar, nanti abang ambilkan makannya, tapi ingat jangan nangis lagi yach…!”

Sesaat kupandang wajahnya tampak sudah agak cerah, walapun masih terdapat sedikit mendung di sana. Segera aku keluar dari dalam kamar dan kembali menuju ke ruang kamar, ibu dan bapak masih menunggu di meja makan. Melihat kedatanganku langsung saja mereka menggu jawaban dariku, tanpa menunggu pertanyaan langsung saja aku berucap.

“Nilam mau makan dikamar, nanti saya antar bu…!”
Mendengarnya merekapun menarik nafas lega, lalu kami makan bersama dengan tenang. Ibuku langsung menegurku ketika melihat aku cepat berhenti makan.

“makanlah yang banyak zam, kamu-kan orangnya sibuk sekali, nanti bisa sakit, eh iya…,.nanti sore ada acara lagi ?”

“iya mi…!”

“ada apa memangnya bi ?” lanjutku.

“nggak ada apa-ap…, ibumu cuman kawatir kamu sakit, kerena kamu terlalu sibuk dengan kegiatanmu.” Kalimat bapakku menjelaskannya terhadapku. Mendengarnya aku hanya tersenyum kepada keduanya. Dua orang yang sangat aku kasihi sekali. Selesainya makan aku segera minta izin terhadap mereka untuk mengantarkan makanan Nilam di-kamarnya.

Ketika aku masuk membawa makanannya dengan nampan, ia tersenyum manis padaku, yach walaupun terasa tidak semanis seperti biasanya.
“nah gitu dong…,gini .baru jadi adik abang yang baik, nggak pakai cemberut lagi kayak tadi” sambil kutaruh nampan di meja belajarnya. Lalu duduk disampingnya mengusap rambut hitam-nya yang indah.
“Nilam makan dulu yach….!”
“nanti saja bang….”
“loh kok nanti, atau mau abang suapin,…?” kataku sambil bergurau yang membuat mukanya merah tak menjawab.
“ok deh…!”lalu kuambil piring dari meja dan kusendok-kan dia untuk dimakan, Ada rasa gembira juga melihat adikku satu-satunya ini yang sangat aku sayangi sudah mulai lagi bersinar wajahnya. Setelah beberapa sendok ia makan mulailah ia berucap.
“bang…,mau temanin Nilam nggak…?”
“emangnya minta ditemanin kemana?”
“cari buku ke gramedia...besok sore yach”
“wah gimana yach…? kayaknya abang nggak bisa, soalnya ketabrakan dengan jadwal abang ngasih mentor anak-anak rohis di gedungnya KNPI.”
“abang ini sibuk terus, sudah nggak sayang lagi sama Nilam” katanya agak merajuk. Melihatnya aku tersenyum mengingat keadaanku yang hampir dua tahunan ini, semenjak aku aktif dalam salah satu organisasi dakwah dalam dan luar kampus, sangat jarang sering sekali bergurau dengannya sebab jarang ada waktu berkumpul. Kupandang wajah manisnya sayang.
“Adik abang yang cantik, jangan marah gitu yach, ntar lain waktu kan bias…”
“mmm… Nilam maunya besok”
“atau gini saja abang kasih penawaran sama Nilam..”
Mendengar ucapanku tersebut ia memandangku penasaran menunggu aku melanjutkan ucapanku.
“gini...Nilam ikut saja sama abang, lagiankan belum pernah mendengar abang ngisi pengajian bukan…?”
“maksud Abang?”
“Nilam ikut abang saja dulu, ntar abis selesai di acara tersebut abang antarin Nilam belanja deh…ok…!!!”
Lama ia dia tidak menjawabnya, hanya matanya saja yang memandang kearahku bengong, lalu kupegang kedua pundaknya.
“mmm…santai saja lagi, di sana juga kan banyak teman sebaya Nilam kok…”
“he eh…” akhirnya iapun mau juga samil mengannggukan kepalanya.
“tunggu bentar yach!” kataku sambil menaruh piring keatas meja disamping ranjang. Lalu bergegas turun dari ranjang dan keluar pergi ke-kamarku sendiri, hanya sebentar sudah kembali lagi ke-kamarnya sambil membawa kotak yang sudah aku bungkus rapi.
“nah ini ada hadiah istimewa untuk adik abang yang cantik ini…”
“ayok buka…!!”
Akhirnya ia-pun perlahan membuka kado yang aku berikan, segera menemukan di dalamnya sepasang baju untuk akhwat dan juga sebuah buku kecil dengan judul ”kudung gaul”. Lama ia tidak bisa berkata mendapat hadiah dariku ini. Matanya hanya memandangku berkaca.
“itu nanti Nilam pakai yach pas pergi sama abang..”
“bang Azam…!”
Tiba-tiba ia memangis dan merangkulku, aku hanya mengusap rambutnya sayang pada adikku satu-satunya ini yang sedang di rundung sedih. Lama sengaja aku biarkan saja ia memangis kemudian baru aku pegang kedua bahunya dan menatap wajahnya, kuusap sedikit air matanya.
“dah jangan nangis lagi yach, adik abang pasti kalau pakai jilbab ini tambah cantik deh…”.
Lalu akupun keluar dari kamarnya karena melihatnya sudah mulai tenang dan tidak terlalu murung wajahnya.

Sesampainya di gedung KNPI segera aku berhentikan kendaran setiaku selama dua tahunan ini, supra x yang di berikan ayah ibuku karena melihatku terlalu sibuk dan seringnya bepergian. Beberapa mata langsung saja menyambutku, karena kali ini ada sesuatu yang lain denganku, pada agak heran barangkali karena pengisi mentornya berboncengan dengan gadis cantik berjilbab. Dua orang siswi setempat yang rupanya sudah ditugaskan menyambutku, memang sudah beberapa kali aku dipanggil untuk mengisi acara di gedung ini, sehingga maklumlah hampir semua siswa dan siswi sekolah di daerah ini sudah mengenalku dengan agak baik. Mereka lebih sering menyebutku dengan kak Azam, karena memang aku lebih suka di panggil seperti itu untuk makin dekat saja dengan mereka.

“Akhi…!” dari dalam gerbang muncul seseorang yang langsung memanggilku. Segera aku langsung tersenyum mengetahui siapa yang datang, teman sekampusku sendiri dari lain fakultas.

“wah antum ada di sini…?!” aku agak heran juga karena tidak mengira ia ada di situ.

“ane ngordinir anak-anak di sini, ini kan acara anak-anak rohis sekota sini, jadi harus benar2 sukses lah” ujarnya sambil memandang ke-arah Nilam yang berdiri di sampingku dengan heran karena baru pertama kali melihat aku datang bersama seorang gadis. Aku yang melihat keheranannya saat melihatku yang datang bersama seorang gadis, karena seperti biasanya ia sudah tahu bahwa aku paling tidak suka dan bahkan tidak pernah terlihat berjalan bersama seorang perempuan.

“ukhti Elna….!” Aku panggil seorang dari dua akhwat yang menyambut kedatanganku tadi.
“iya kak Azam…!”
“jangan salah paham sama gadis yang bersama ana ini yach! dia ini adik Ana sendiri, namanya Nilam, sekalian tolong antarkan dia bergabung dengan teman-teman akhwat lainnya …”
“iya kak, mari ukhti Nilam…”
“Nilam pergi dulu bang…!"
“iya…ntar Nilam kalau udah kelar acaranya tunggu bentar abang di sini yach!”

Iapun menganggukan kepalanya, kemudian pergi mengikuti dua gadis berjilbab lebar sebaya dengannya.
“hahaha ..kirain kamu tadi sudah mau punya pacar akhi…” kata Aslam temanku tersebut bergurau sambil meringis memperlihatkan giginya, ia memang baru masuk tarbiyah jadi kadang masih agak ugal-ugalan juga bicaranya. Mendengarnya aku hanya tersenyum kepadanya.
“kok bisa antum ngira begitu ukhoyya, Aslam Jefriadi Arifin Sentosa …?” Sengaja aku sebut nama lengkapnya yang panjang.
“iyalah, siapa jsih yang nggak akan salah duga, soalnya datang-datang bersama gadis cantik berjilbab dan anggun gitu, ternyata…hehehehe…...!!!”
“adik sendiri yach…!”
“antum tuh matanya masih awas juga, Jef…! Ghaddul basharnya lari kemana tuh?” kataku sambil menyinggung sedikit ke arah ajaran Rosul tentang menundukan pandangan dengan bergurau.
“hehehe maklumlah baru beberapa bulan nih, siapa tahu ntar dapat jadi adik ipar Ust. Muda didepanku ini…”
“boleh sih, ana nggak keberatan kok…”
“alhamdulillah, sudah dapat restu nih ceritanya….?!”
“tapi syaratnya ente harus hafal 30 juz Qur’an dulu deh…” kataku berbisilk di telinganya pelan sambil agak bergurau, di sambut olehnya dengan terbengong dan kemudian tertawa pelan. Tidak lama kami melangkahkan kaki sudah sampai ruangan utama pelaksaan acara tersebut, ratusan siswa siswi sudah memadati ruangan dan duduk di kursi-kursi yang sudah di sediakan dengan di bagi dua bagian, untuk laki-laki dan wanita di pisahkan pembatas sederhana untuk menghindarkan pencampur-bauran.


Tema mengenai pergaulan muda-mudi yang aku bawakan membuat para pendengar hening dan serius sekali mendengarkanya, tapi kadang juga terdengar tertawa pelan karena tak sengaja ada sesikit lelucon yang aku lontarkan. Yang di mana merupakan sebuah kenyataan yang di hadapkan pada ummat islam khususnya saat ini menghadapi ancaman kerusakan moral pada generasi muda, sebuah generasi yang akan meneruskan tongkat estafet pendahulu atau golongan yang nantinya mau tidak mau pasti tergantikan oleh para kawula muda itu. Mulai dari pergaulan salah arah para orang muda sampai pempraktekkan sebuah kebebasan yang salah kaprah, menjadikan sebuah penyakit dalam bentuk bebas berbuat tanpa mengindarkan aturan-aturan sebagai manusia yang beradab da beragama, manusia yang Allah ciptakan sebagai makhluk terbaik yang ada. Hingga tidak terasa empat puluh menit lebih berbicara di hadapan ratusan pendengar di depan-ku. Seperti seorang pembicara lainnya, pada sesi Tanya jawab sampai kelelahan menjawah semua pertanyaan yang di lontarkan para peserta seminar yang sangat antusias sekali bertanya.

“akhi…!”
Suara lembut membuatku yang sedang berjalan berdampingan dengan Nilam untuk keluar dari gedung KNPI menghentikan langkah; di ikuti Nilam di sampingku. Seraut wajah ramah cantik dan anggun dengan jilbab lebarnya tersenyum sambil berjalan mendekat kearah kami berdua. Rupanya ukhti Lina, termasuk aktivis LDK satu kampus denganku.
“bagus banget tadi penyampainnya akh…”
“makasih ukhti…, oh iya ada sesuatu kayaknya…?”
“iya akh...”
“nih….!!!”lanjutnya kemudian menyerahkan surat undangan kepadaku. Pernikahan kakaknya sendiri yang tentunya sudah mengenalku, yang walaupun di program s2 kampus sebelah. Sebab aktif dalam organisasi yang sama-lah maka kami menjadi saling kenal.
“salam sama dia ya Ukhti, ntar insya Allah ana kalau nggak ada halangan berusaha akan datang di walimahannya”
“insya Allah, ntar tak sampain sama dia"
"oh iya…tolong sekalian sampaian sama Akhi Salman, bahwa akhir bulan ntar ada kunjungan Ust. Khalid misyal dari HAMAS di sekertariat daerah, kali aja beliau belum dapat infonya"
"insya Allah Akh, ntar ana sampain…!"
"kayaknya terburu-buru ya akhi, nggak nyantai-nyantai dulu sama ikhwan lainnya?" lanjutnya.
"nggak juga, cuman mau antarin Adik ana nih…ke-Gramedia saja"
"Adik Nilam, senang jumpa sama Nilam, ntar lain kali kalau ada seminar ikut lagi yach…!"
"insya Allah mbak!" jawab Nilam samil tersenyum kepada ukhti di depannya.

Dari gramedia kami langsung pulang kerumah, hari sudah agak larut.
"bang, emangnya Kholid Misyal siapa sih?"
"ohhh beliau dari palestina, cuman sekarang bermukim di libanon, dan beliau saat ini ketua bagian politik HAMAS di palestina"
"ooo…"
"jangan cuman ooo adik manis…ntar ikut lagi sama abang biar bisa tahu juga yach…!"
Sambil melajukan motorku terus aku jelaskan bahwasannya HAMAS adalah satu kelompok gerakkan perjuangan yang sedang berusaha membela kesucian darah Islam dan mengusir tanah Palestina dan Quds terjajah. Dari kaca spion aku lihat dia cuman tersenyum mendengar perkataanku dengan perhatian yang aku tunjukan kepadanya. Sesampainya dirumah, senyum kedua orang tua langsung menyambut kedatangan kami. Mereka tampak gembira melihat anak gadisnya tidak murung lagi.

Banyaknya peristiwa yang terjadi mengikuti perjalanan zaman, menjadi saksi atas segala tindak tanduk yang di lakukan para manusia, dari maunia tahu diri sampai manusia tak tahu diri. Kadang aku sendiri ketika dalam perjalanan ke-kampus di jalanan tidak sedikit peminta menadahkan tangannya dengan badan kucal, dan tak jarang pula berperut buncit karena jarangnya di masuki makanan (busung lapar). Memiriskan pikirku, padahal kalau di lihat keadaan gedung pemerintahan megah-megah, stadiun bola yang di bangun dengan dana yang di ambil dari ABPD miliyaran rupiah, dan mobil mewah jangan di hitung lagi, tak ketinggalan milik para pemimpin rakyat yang wow…!
Kalau melihat perubahan langit memang tidak di herankan, cuaca pula, tapi perubahan yang ada pada adikkku, wulan sungguh membuatku serius berpikir, walapun hari-hari terakhir ia sudah kembali ceria, sudah bisa berceloteh seperti merpati yang lincah, akan tetapi tatapannya terhadapku tidak bisa membohongiku, hal inilah yang membuatku mengurangi porsi jam keluarku, karena memang sudah setahunan lebih semenjak aktif di oragnisasi dakwah, jam di rumah jadi sangat sedikit.
…..
Tidak seperti biasanya aku tertarik masuk ke kamarnya ketika ia belum lagi pulang, mataku menyapu keadaan kamarnya yang rapi, bedalah di bandingkan dengan kamarku, ketika memandang agenda di atas meja belajarnya dengan agak tertarik segera meraih dan membuka lembaran-lembarannya. Tiba-tiba mataku terkaku melihat salah satu lembaran antara percaya dan tidak.

Agustus, 2008 M

Dulu aku merasa kalau aku hidup di rumah tinggal seorang diri saja, selalu merasa kesepian, Bang Azam yang dulu selalu menemani aku seperti sudah tidak perduli lagi. Pertamanya aku kira setelah aku tidak lagi berteman dengan teman spesialku itu merupakan sumber kesedihanku yang sesungguhnya, tapi sebenarnya aku merasa di tinggal sendirian. Akua sangat sayang sama Abang Azam, karena dia pula yang selalu menyayangku sejak kecil selain ayah bundaku, tapi kini, kalau dulu ketika dia mulai sibuk dan kurang perduli lagi hanyalan sementara waktu saja, tapi kini aku kira akan kehilangan abangku untuk selamanya. Yach…secara kebetulan ketika sedang bersih-bersih kamar bunda aku memenukan dokumen yang menjelaskan semuanya, ternyata abang Azam bukan abang kandungku……

"aih…" hampir saja aku terjatuh membaca sebagian tulisan di agendanya, tidak sampai selelesai aku baca, karena semuanya sudah dapat menjelaskan kepadaku, rupanya ini yang menjadi sebab mengapa Nilam akhir-akhir ini menjadi tambah murung. Terlihat dari tatapannya yang terasa asing bagiku. Ah….sesudah keluar dari kamarnya segera langsung masuk ke kamarku berusaha memejamkan mata sekedar menenangkan sedikit pikiran yang kacau dan bimbang.

…...
"Nilam…mau ikut Abang ngabuburit nggak…?!"kataku padanya satu sore awal minggu ramadhan.
"kemana bang?"
"mutarin komplek saja…."
Setelah agak lama kami berjalan sambil sedikit ngobrol, aku ajak dia duduk di pinggir lapangan sambil menyaksikan beberapa anak yang sedang bermain. Lama kami hanya duduk, dia memandang tidak tentu arah. Akhirnya aku mulai buka suara.
"sebenarnya ada yang mau abang bicarain sama Nilam…"
Ia diam menunggu aku melnajutkan kalimatku.
"Nilam nggak tanya mengapa abang akhir-akhir ini jarang pergi?"
"mmm…!"
"sebabnya adalah karena beberapa hari lagi insya Allah abang mau pergi melanjutkan s2 di Mesir, tentunya Nilam dalam waktu lama tidak akan melihat abang bukan?!"
Terlihat matanya berkaca-kaca mendengarkan ucapanku yang barangkali tidak pernah diduganya, maklumlah memang dengan rencanaku yang satu ini, dengan orang tua sendiripun belum menyinggungnya.
"bagaimanapun juga, adakalanya Abang, Nilam dan Ayah Bunda akan saling berpisah, dan barangkali abang cumin minta satu saja sama Nilam…sampai kapanpun kamu harus senantiasa menjadi adik abang Azam yang baik, dan jangan kecewakan abang ketika kembali dari Mesir nanti yach…!"
Lalu mulailah meluncur dari lisanku dengan pandangan lurus kedepan, bagaimanapun juga aku sudah tahu masalah apa sebenarnya yang ia hadapi dan membuatnya murung. Ia diam mendengarkan setiap kata yang aku keluarkan, ia langsung medongakkan kepalanya menatapku ketika mendengar bahwasannya aku sudah tahu bukan Abang kandungnya dari diare yang akunya baca. Tapi hanya sebentar kemudian, dengan tersenyum telah kembali cahaya keceriaannya .
…………………

Pemandangan kampus masih sepi ketika ketika kaki melangkah memasuki pintu gerbangnya yang megah. Langit masih masih menurunkan gerimisnya ikut menjernihkan cuaca kota yang sudah terlampau banyak terkontaminasi dengan polusi, satu dua mahasiswa maupun mahasiswi yang lewat tampak berpayung, hanya aku yang lari-lari kecil langsung menuju belakang kampus, tempat favoritku untuk duduk menyendiri jika kebetulan jam kuliah sedang kosong.. hari-hari menjelang pertanggungjawan sripsiku memang aku agak sedikit lebih sibuk dari biasanya.